Mobil Jeep milik Bang Hiro berhenti tepat di depan pintu utama sekolah. Kiyoko sebenarnya mau protes, tapi malas karena percuma saja, toh Bang Hiro tetap akan menurunkannya di situ. Bang Hiro melepas seatbelt-nya dan ikut turun. Untuk terakhir kali, sebelum dia berangkat ke Italia, dia memeluk sang adik erat-erat. “Belajar yang rajin,” pesannya. Kiyoko mengangguk. “Lancar dan sukses ujiannya.” Kiyoko mengangguk lagi.
Dari balik punggungnya, Kiyoko dapat merasakan tatapan-tatapan warga Altein yang menusuk. Sudah pasti, dia bakal dicecar oleh ratusan pertanyaan, tetapi untuk saat ini mari berlindung di balik tatapan sangar Bang Hiro. Setidaknya, fans menyebalkan yang sering mengerumuninya tiap pagi enggan mendekat karena ada Bang Hiro.
“Oke, Abang. Safe flight, ya,” ujar Kiyoko sembari melepas pelukannya. Bang Hiro tampaknya sedang dalam mode protektif. Dia mencium kening sang adik sebelum melepas Kiyoko pergi. “Kalau ada apa-apa, kasih tau Abang,” ujar Bang Hiro sengaja pakai nada mengintimidasi. Di matanya ada laser imajiner yang siap meledakkan manusia-manusia yang berani macam-macam dengan Kiyoko. Kiyoko mendesah lelah. “Iya, iya… apaan sih? Sana, pulang!” usirnya.
Setelah mobil Bang Hiro raib dari halaman sekolah, Kiyoko langsung masuk ke dalam. Tidak mau memberi kesempatan pada orang-orang untuk mendekat. Di koridor dia bertemu dengan Kuroo dan Sugawara yang sedang mengobrol, lalu dia menempel pada mereka keduanya.
“Pagi, Yoko!” sapa Sugawara bersemangat. Kiyoko mengangguk lalu mempelajari raut wajah Kuroo yang kusut. “Kenapa tuh, dia?” tanyanya sambil mengedikkan bahu. “Just… having a rough week,” balas Kuroo singkat. Sebetulnya dia kasihan juga dengan cowok itu, tapi kan dia Tim Aca Forever!
“Ruang ujian lo di mana?” tanya Suga pada Kiyoko. “Di kelas gue sendiri, kelas 2/7.” Mata Suga berbinar. “Eh, gue sama Kuroo juga. Kalo gitu kita bareng aja ke ruangannya.” Suga langsung menggandeng lengan Kiyoko dan Kuroo lalu menyeret kedua temannya itu menuju ruang kelas 2/7.
Di SMA Albert Einstein, ruangan akan diacak setiap diadakan ujian. Berlaku untuk semua angkatan. Itu artinya dalam satu ruangan akan ada anak kelas satu, dua dan tiga. Dalam satu kelas, tempat duduknya masih diacak lagi, yang satu angkatan tidak boleh duduk bersebelahan. Berarti, orang di sebelah Kiyoko nanti kalau bukan anak kelas satu pasti anak kelas tiga.
Trio itu masuk ke dalam kelas. Suga mendapat tempat duduk di agak belakang, sama dengan Kuroo. Kiyoko sendiri yang duduk di baris kedua. Sebelah kanannya tembok, sedangkan sebelah kirinya adalah anak kelas satu botak yang sedang asyik bermain pesawat-pesawatan.
“Woy, Ryu! Awas di belakang lu!” pekik teman bermain pesawat-pesawatannya itu. Namun, nahas… pesawat itu sudah mendarat duluan membentur kepala Kiyoko. Kiyoko menoleh dan mengangkat sebelah alisnya sambil memegang pesawat kertas itu. Dia melihat ke arah anak kelas satu yang ada di belakang sana, memasang wajah takut-takut. Kemudian beralih pada anak kelas satu yang ada di sebelahnya. Kiyoko tidak menyangka bahwa anak kelas satu yang botak itu bakalan memasang wajah cengo.
“B-B-Bidadari!” pekiknya. Tiba-tiba seisi kelas menjadi hening dan serempak memusatkan perhatian pada si anak kelas satu dan Kiyoko. “Ayo menikah sama aku, Kak!” teriaknya lantang. “Maaf, nggak bisa,” jawab Kiyoko dengan wajah datar, lalu kembali pada catatan vocab-nya yang ada di atas meja.
Tawa Kuroo yang seperti Hyena di belakang sana memecah hening. Tak lama kemudian, muncul tawa lainnya disertai siul-siulan. Anak kelas satu itu mengambil pesawat kertas yang ada di meja Kiyoko kemudian duduk di bangkunya. Wajahnya memerah malu, sementara Kiyoko acuh dengan kehebohan yang terjadi di kelas.
Sungguh, cara memulai hari yang sangat aneh.